BBM Naik Karena Pemerintah Otoriter dan Tidak Kreatif.
1. Apakah Penyebab Pemerintah selalu ingin menaikkan harga BBM?
2. Kenapa Harga BBM selalu jadi kambing hitam ketika APBN terbebani?
3. Kenapa selama 8 Tahun ini, Pemerintah selalu mengutak atik harga BBM?
Saya buka tulisan ini dengan
tiga pertanyaan untuk menggugah pemikiran kita agar bisa berfikir
obyektif dan jernih serta menambahkan daftar pertanyaan terhadap
problema ini.
- Pertama, Pemerintah Menganggap Harga BBM (khususnya Premium) saat ini terlalu murah dibandingkan dengan harga pasar Dunia sehingga pemerintah harus memberikan subsidi untuk BBM yang dijual dipasar domestik tersebut. Bahkan Sri Mulyani saat jadi Menteri mampu memberikan alasan bahwa harga BBM di Indonesia jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga BBM di Malaysia.
Kita semua tahu bahwa saat ini bumi RI
mampu menghasilkan +/-850.000 Barel BBM per hari, tapi sebagian besar
hasil tersebut sudah bukan milik RI lagi sehingga untuk mencukupi
kebutuhan domestik pemerintah membeli lagi BBM dipasar global untuk dijual ke pasar domestik dibawah harga pasar global dengan SUBSIDI Pemerintah.
Adakah kesalahan atas SUBSIDI tersebut? Kita tahu jika harga BBM
dinaikkan lagi dari harga yang sekarang maka yang menanggung akibatnya
adalah rakyat kecil, dikarenakan kepastian kenaikan tersebut akan
diikuti oleh naiknya harga-harga barang kebutuhan lainnya dan akan
berdampak pada penurunan daya beli masyarakat miskin dan menengah.
Yang menjadi catatan adalah, apakah
memang benar harga BBM di Indonesia terlalu murah jika dibandingkan
dengan daya beli sebagian besar Rakyat Indonesia? adakah Sri Mulyani
lupa membandingkan daya beli rakyat Indonesia dengan rakyat Malaysia
sehinggah mampu memberikan alasan harga BBM di RI jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan harga BBM di Malaysia? sungguh alasan tersebut
sangat naif dan terkesan asal ucap tanpa perhitungan.
- Kedua, Selama ini kita hanya tahu bahwa harga BBM selalu jadi kambing hitam ketika APBN RI terbebani, dikarenakan saat ini Pemerintah memberikan subsidi BBM +/- 76 trilyun yang diambil dari APBN.
Kita tidak pernah tahu berapa beban APBN
atas bunga hutang yang harus pemerintah bayar setiap tahun yang
sebenarnya tidak perlu. Karena APBN tidak pernah diserap 100% oleh
Kementerian bahkan terkesan menghambur-hamburkan anggaran. kita tidak
pernah melihat pemerintah kreatif untuk memikirkan efisiensi terhadap
kebijakan-kebijakan yang berdampak negatif terhadap rakyat Indonesia.
Kalau boleh saya mencontoh Sri Mulyani, maka saya akan lebih senang
membandingkan harga rokok di Indonesia dengan Malaysia. Saat ini
rata-rata harga rokok di RI +/-Rp 11.000,- per bungkus, sedangkan di
Malaysia rata-rata harga rokok sudah mencapai +/-35.000,- jumlah perokok
di Indonesia mencapai 100 juta orang, jika setiap perokok menghabiskan 7
batang per hari, maka akan ada 700 juta batang rokok yang dihisap per
hari, jika cukai rokok dinaikkan Rp 250 per batang, maka harga rokok
(dengan isi 16 batang per bungkus) akan menjadi Rp 15.000,- per bungkus
(masih jauh lebih murah dibandingkan dengan harga rokok di Malaysia),
hal tersebut akan menambah pendapatan baru dari Cukai rokok, yakni: 700
juta batang rokok X Rp. 250,- X 365 Hari = 63,875 Trilyun.
Kalau saja Pemerintah mau sedikit
kreatif masih banyak lagi permasalahan untuk di Efisiensi, terutama yang
dampaknya negatif buat rakyat.
- Ketiga, baru 8 tahun ini Pemerintah selalu mengutak-atik harga BBM, energi pemerintah banyak terkuras untuk memikirkan kebijakan-kebijakan mengenai harga BBM ini, sehingga lupa memikirkan hal-hal yang lebih urgen. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Kita tahu saat ini Perusahaan Asing
seperti Shell, Total banyak membuka SPBU-SPBU di Kota-kota besar di
Indonesia. Wajar jika saya sebagai Rakyat Indonesia curiga bahwa
kebijaksanaan dan kerja keras Pemerintah untuk menaikkan harga BBM pada
pasar Domestik adalah buah dari hasil keinginan perusahaan-perusahaan
Asing tersebut agar bisa menjadi tuan di negeri orang karena telah
menguasai produk BBM dari hulu ke hilir.
Beginilah faktanya di negeri ini yang
Pemerintahnya lebih mendahulukan kepentingan pengusaha (lokal maupun
asing) ketimbang kebutuhan rakyat. Entah perhitungan macam apa yang
dipakai untuk menghasilkan kebijakan yang lagi-lagi tidak pro rakyat.
Ekonomi kita tidak butuh pencitraan, tapi fakta nyata di lapangan akan
makin banyak rakyat Indonesia yang lapar dan tercekik hidup di negeri
yang kaya raya. Ironis!
sumber:bem.its.ac.id
sumber:bem.its.ac.id
Komentar
Posting Komentar